Senin, 23 November 2015

MAKALAH

PEMAHAMAN YANG BENAR AKAN KEDAULATAN ALLAH 
SEBAGAI KEKUATAN DALAM MENGHADAPI PENDERITAAN




DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………......

BABI.      PENDAHULUAN…………………...
                 LatarBelakangMasalah……….………….
                 RumusanMasalah……….……….…….
                 TujuanPenulisan…………..……
                 BatasanPenulisan ……………

BAB II.   PEMAHAMAN YANG BENAR AKAN KEDAULATAN ALLAH SEBAGAI KEKUATAN DALAM MENGHADAPI PENDERITAAN.......
                 Definisi Iman.......................
                 Penderitaan Yang Dialami Oleh Ayub.....
                 Kedaulatan Allah Dalam Kehidupan Manusia.............
                 Eksposisi Ayub 2 :9-10.......................................
                           Latar Belakang Kitab...........................
                                    Penulis Kitab Dan Waktu Penulisan..................
                                    Tujuan Penulisan Kitab...........
                          Latar Belakang Teks Ayub 2:9-10...............
                          Eksposisi Ayub 2:9-10...............
                            Tanggapan Istri Ayub “Kesalehan Adalah Sia-Sia
                            (Ayub 2:9)”.......................
                            Tanggapan Ayub Sebagai Bukti Kemurnian Imannya..

BAB III.  PENUTUP.................
                 Kesimpulan.................
                 Saran.......................................................

DAFTAR KEPUSTAKAAN..............


BAB I
PENDAHULUAN
            Dalam bab ini, penulis akan memaparkan dan menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan karya tulis ini dan batasan penulisan yang menjadi ruang lingkup pembahasan makalah ini.
Latar Belakang Masalah
            Dalam pemahaman manusia, bahwa setiap orang yang hidup benar dihadapan Tuhan akan hidup dalam kebahagiaan dan bagi orang yang hidup tidak benar serta jauh dari Tuhan akan hidup menderita. Namun dalam kenyataan hidup, terkadang ditemui bahwa orang yang hidup tidak benar, jauh dari Tuhan, tidak takut akan Tuhan,  hidup dengan berlimpah materi, mengalami kebahagiaan. Sebaliknya justru ada orang yang hidup benar dihadapan Tuhan, takut akan Tuhan, mengalami hidup yang berat dan menghadapi penderitaan dalam hidupnya. Salah satu contoh yang terjadi adalah pengalaman hidup Ayub.
            Banyak orang akan mengajukan pertanyaan, ketika mendapati orang yang benar hidupnya justru menderita. Hal ini karena anggapan yang sudah melekat pada pemikiran manusia bahwa orang yang hidup benar, baik, jujur, dan memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan akan menikmati kehidupan yang baik dan bahagia. Dengan anggapan ini, orang akan sulit menerima keadaan yang sulit, dan cenderung mempersalahkan Tuhan serta kecewa dengan keadaan yang dia alami.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah?
-          Apakah itu Penderitaan?
-          Bagaimana kedaulatan Allah terhadap kehidupan manusia?
-          Bagaimana pandangan Ayub dan istrinya terhadap penderitaan yang dialami?
Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ini adalah:
-          Supaya pembaca mengetahui apa itu penderitaan
-          Supaya pembaca memahami kedaulatan Allah kepada hidup manusia baik dalam hal yang baik, maupun hal yang buruk.
-          Supaya pembaca memahami pandangan Ayub ketika menghadapi penderitaan sebagai dampak dari pengenalan dan persekutuannya dengan Allah.
Batasan Penulisan
            Mengingat betapa luasnya pembahasan ini, maka penulis merasa perlu membatasi ruang lingkup pembahasan ini dengan hanya mengeksposisi Ayub 2: 9-10 sebagai dasar dan pegangan bagi setiap orang percaya dalam menghadapi penderitaan. Perkataan Ayub dalam pasal 2: 10 cukup menjadi kekuatan bagi orang percaya untuk memiliki pemahaman yang benar akan kehendak dan keadilan Allah sehingga mendorong untuk mampu menghadapi penderitaan dan kesulitan yang dihadapi.
BAB II
PEMAHAMAN YANG BENAR AKAN KEDAULATAN ALLAH
SEBAGAI KEKUATAN DALAM MENGHADAPI PENDERITAAN
AYUB 2: 9-10
            Dalam bagian ini, penulis akan memaparkan definisi dari iman, melihat penderitaan yang dialami Ayub dengan meneliti latar belakang Ayub, melihat kedaulatan Allah yang mengatur kehidupan manusia, dan tanggapan Ayub dan istrinya atas penderitaan yang mereka alami dari eksposisi teks dengan memperhatikan latar belakang kitab Ayub sendiri dan latar belakang teks Ayub 2:9-10.
Definisi Iman
Kata "iman" dan  kata kerjanya "percaya" sering muncul dalam Al­kitab, dan memang merupakan istilah penting yang meng­gam­bar­kan hubungan antara umat  atau  seseorang  dengan Allah. Di bawah ini akan ditin­jau secara singkat  makna istilah itu dalam Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Baru. Kata "iman" yang dipakai dalam Perjanjian Baru me­ru­pakan terjemahan dari kata Yunani πίστις (pistis), sedangkan kata kerja­nya "percaya" adalah terjemahan dari kata πιστεύω (pisteuoo).  Kata-kata ini sudah dipakai dalam Septuaginta, Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dalam bahasa Yunani, sebagai terjemahan kata Ibrani aman, yang berarti keadaan yang benar dan dapat dipercayai/diandalkan. Kata ini dan kata-kata sekelompoknya dalam Alkitab Ibrani sering digunakan untuk me­nyatakan rasa percaya kepada Allah dan percaya kepada firman-Nya. Per­caya kepada Allah mencakup arti percaya bahwa Ia benar dan dapat diandalkan, mempercayakan diri kepada-Nya, dan taat serta setia kepa­da-Nya. Percaya pada firman-Nya berarti percaya dan menerima  apa yang sudah difirmankan-Nya itu.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah iman dan percaya dalam Alkitab sering mengandung komponen-komponen makna sebagai berikut:percaya dan menerima bahwa sesuatu itu benar,mengandalkan/mempercayakan diri, setia, dantaat.[1]
Penderitaan Yang Dialami Oleh Ayub
            Dari Ayub 1:1 dengan jelas dikatakan siapakah Ayub itu. Alkitab dengan jelas mencatat bahwa Ayub adalah seorang yang saleh, jujur, hidup takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.  Dari lesaksian Alkitan itu, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Ayub memiliki relasi yang baik dengan Allah dalam hidupnya. Hidup yang demikian ia jalani dengan didasari atas pengenalanya akan Allah. Bahkan dalam ayat 4 dan 5, menunjukkan bahwa Ayub adalah imam yang baik bagi keluarganya dan menjadi contoh bagi keluarganya. Dia menginginkan hidup keluarganya berkenan kepada Allah dan dia tidak ingin ada dosa yang mungkin tersembunyi sekalipun dalam keluarganya. Oleh karena itu dia selalu memberikan korban untuk menebus kesalahan dan dosa anak-anaknya. Sungguh Ayub telah menunjukkan hidup benar dihadapan Allah. Secara ekonomi, Ayub adalah orang terkaya di antara orang sezamannya yang ada disebelah timur di tanah Us. Hal ini tentu membuat kedudukannya dalam kehidupan sosial pada masa itu sebagai orang terpandang dan dihormati.
            Akan tetapi, hanya dalam waktu yang sekejap, kehidupan Ayub berubah, ketika Iblis ingin membuktikan kemurnian iman Ayub kepada Allah. Maka dengan seijin Tuhan, Iblis menimpakan malapetaka kepada anak-anak Ayub (1:19), hartanya, bahkan diri Ayub sendiri. Semua anak-anaknya mati dalam waktu yang bersamaan, dan semua hartanya habis dalam waktu sekejap. Tidak hanya itu, Iblis dengan keangkuhannya menimpakan penyakit yang menyiksa Ayub.
Kedaulatan Allah Dalam Kehidupan Manusia
Jika  berbicara tentang kedaulatan Allah, maka akan mengarah kepada hak Allah dalam rencana-Nya, tindakan-Nya dan segala sesuatu yang Ia lakukan dalam kehidupan manusia.  Allah sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya, memiliki hak mutlak untuk mengatir kelangsungan kehidupan yang ada dalam alam semesta ini. Ia juga yang menciptakan manusia, dengan rencana, rancangan dan tindakanNya yang bersifat mutlak. Oleh karena itu, Ia memiliki hak dan kedaulatan yang mutlak atas kehidupan manusia. Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia terjadi menurut kehendakNya dan atas ijinNya. Alkitab berkata dalam Yesaya 45:7 “yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang,Akulah TUHAN yang membuat semuanya ini. Sekalipun manusia memiliki kehendak, keinginan, rencana dalam hidupnya, namun yang terjadi adalah seturut kehendak Tuhan (Amsal 16:9). Tidak ada sesuatupun yang terjadi, tanpa sepengetahuan Allah.Kebahagiaan, penderitaan, sehat, sakit, kelahiran, kematian, semua itu merupakan proses yang harus dilalui semua manusia sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan.
Eksposisi Ayub 2:9-10
            Dalam bagian ini, penulis akan memberikan pemaparan mengenai kitab Ayub sendiri yang meliputi latar belakang kitab, penulis dan waktu penulisan, ciri khas kitab ini, tujuan penulisan kitab ini dan latar belakang teks Ayub 2:9-10 serta eksposisinya.
Latar Belakang Kitab
Kitab Ayub adalah salah satu kitab nabi dalam Perjanjian Lama yang terdiri dari 42 pasal. Akan tetapi menurut Blommendaal kitab Ayub yang asli hanya terdiri dari 2 pasal saja, yaitu pasal 1,2 dan 42:7-17 sedangkan selebihnya adalah tambahan bahan dalam bentuk puisi dan berisikan pembicaraan antara Ayub dan teman-temannya (pasal 3-42:6).[2] Kitab Ayub termasuk dalam Sastera Hikmah (Hikmat) sehingga kitab ini tidak mempunyai hubungan dengan sejarah Israel.Kitab Ayub bukanlah kitab yang berasal dari Israel melainkan berasal dari Edom. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemakaian bahasa dalam penulisannya menggunakan bahasa Semitis Selatan dan juga terasa pengaruh bahasa Aram di dalamnya. Diduga kitab ini ditulis sesudah masa pembuangan. Sedangkan menurut Alkitab Penuntun, tempat terjadinya peristiwa adalah di tanah Us yang kemudian menjadi wilayah Edom yang terletak di bagian tenggara laut mati/sebelah utara Arabia. Sehinga latar belakang kitab Ayub bersifat Arab dan bukan Ibrani.[3]Para sarjana sekular percaya bahwa bagian pengantar dan penutup dari kitab ini yang merupakan kerangkanya disusun untuk menempatkan puisi sentralnya ke dalam bentuk prosa "kitab rakyat" seperti yang diungkapkan oleh para penyusun Jewish Encyclopedia (Ensiklopedia Yahudi). Di dalam prolog dan epilog, nama Allah adalah Yahweh, sebuah nama yang bahkan digunakan oleh orang-orang Edom.[4]
Penulis Kitab Dan Waktu Penulisan
Ada banyak pendapat yang mengemukakan tentang pengarang dari kitab Ayub. Dua tradisi Talmud mengatakan bahwa Ayub hidup di masaAbraham atau Yakub. Lewi ben Lahma mengatakan bahwa Ayub hidup di masa Musa, yang kemudian menulis Kitab Ayub itu sendiri. Yang lainnya berpendapat bahwa Ayub sendirilah yang menulis kitab ini, atau Elihu atau Yesaya. Dari bukti-bukti internal, seperti misalnya kesamaan perasaan dan bahasa dengan apa yang ditemukan dalam Kitab Mazmur dan Amsal (Mazmur 88 dan 89), maraknya gagasan tentang "hikmat," dan gaya serta sifat komposisinya, diduga bahwa kitab ini telah ditulis pada masa Raja Daud dan Raja Salomo.[5]
Akan tetapi, ada  sumber yang berpendapat lain tentang tanggal penulisan kitab ini. Dua tanggal penting yang dicatat adalah :Tanggal kehidupan Ayub sendiri dan peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam kitab ini, dan tanggal penulis kitab ini yang diilhamkan. Beberapa fakta menunjukkan bahwa Ayub sendiri hidup sekitar zaman Abraham (2000 SM) atau sebelumnya.[6] Fakta-fakta yang penting adalah : Ayub masih hidup selama 140 tahun setelah peristiwa-peristiwa dalam kitab ini (42:16) yang menunjukan jangka hidup yang hampir 200 tahun. Kekayaannya dihitung dari jumlah ternak (1:3 dan 42:12). Pelayannaya sebagai imam dalam keluarganya seperti Abraham, Ishak dan Yakub (1:5). Sistem keluarga pimpinan ayah menjadi kesatuan sosial mendasar seperti pada zaman Abraham (1:4-5, 13). Serbuan orang-orang Syeba (1:15) dan orang-orang Kasdim (1:17) yang cocok dengan zaman Abraham. Seringkali (31 kali) penulis memakai nama yang dipakai para patriarkh bagi Tuhan, yaitu Shaddai (Yang Maha Kuasa). Tidak ada petunjuk sama sekali kepada sejarah Israel atau hukum Musa sehingga memberi kesan tentang zaman pra-Musa (1500 SM).
Tujuan Penulisan Kitab
Tujuan Kitab Ayub adalah memberikan penjelasan tentang keadilan Tuhan bagi orang benar. Penderitaan yang dialami oleh Ayub merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami menurut konteks keagamaan pada waktu itu. Konsep tradisional mengajarkan bahwa ketaatan akan membawa berkat (1:1-3), sedangkan ketidaktaatan menghasilkan kutukan. Aliran hikmat menekankan sifat Tuhan yang transendens, yang penuh rahasia dan rasa takut dan gentar pada diri manusia apabila manusia berhadapan dengan kuasa Tuhan itu. Dalam kerangka pikir seperti inilah Ayub dan tiga orang sahabatnya bergumul tentang keadaan Ayub. Bagi Ayub yang tidak merasa bersalah (bdk. 1:5; 10:7; 13:18, 23; 27:5; 31:1-40), penderitaannya tampak sebagai sesuatu yang tidak adil. Sebaliknya, para sahabat Ayub dengan yakin menuduh Ayub telah berbuat dosa tertentu (bdk. 4:7-8).[7]Sementara itu yang paling disorot oleh Tremper Longman III & Taymond B. Dillard, dalam bukunya An Introduction to the Old Testament sebenarnya bukan alasan mengapa Ayub menderita, tetapi keputusan Allah yang memberkati orang benar.[8]Setan menganggap keputusan tersebut bersifat kontraproduktif karena kesalehan seseorang menjadi tidak murni. Seseorang cenderung untuk hidup dengan saleh hanya karena menginginkan berkat TUHAN (1:9-11; 2:3-5).
Latar Belakang Teks Ayub 2:9-10
            Ayub 2:9-10 merupakan dialog antara Ayub dengan istrinya menyikapi dan menanggapi situasi yang sedang mereka hadapi. Setelah semua harta benda dan kekayaan Ayub habis, di susul dengan kematian semua anak-anaknya dan ditambah dengan penyakit parah yang diderita Ayub, istri Ayub mengemukakan pendapatnya, sebagai bentuk kekecewaan kepada Tuhan. Sementara itu Ayub menentang pendapat istrinya dengan didasarkan atas imannya dan pemahamannya akan kedaulatan Allah sehingga dalam semua yang dilakukannya, Ayub tidak berbuat dosa.
Eksposisi Ayub 2: 9-10
            Ayub 2:9-10 terbagi dalam dua bagian, yang pertama adalah pendapat Istri Ayub terhadap kesalehan Ayub yang seakan sia-sia dan bagian kedua, sanggahan Ayub terhadap perkataan Istrinya.
Tanggapan Istri Ayub “Kesalehan adalah sia-sia (Ayub 2:9)”
            Ayat 9: “Maka berkatalah istrinya kepadanya: masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah”. Perkataan ini adalah ungkapan kekecewaan, kemarahan, dan keputus asaan istri Ayub dengan penderitaan yang dialami. Istri Ayub seakan ingin mengatakan bahwa tidak ada gunanya jika Ayub masih bertahan dalam kesalehannya. Apa yang dikatakan Iblis dalam  pasal 2:5, terjadi pada dirinya. Dia beranggapan bahwa kesalehan ternyata tidak menjauhkan mereka dari penderitaan. Bahkan untuk hidup takut akan Allah pun tidak ada gunanya sehingga dengan tanpa ragu dia menyarankan agar Ayub mengutuki Allahnya. Dengan kata lain, Istrinya menyarankan supaya Ayub meninggalkan Tuhan, dan mengakhiri hidupnya, karena tidak ada pengharapan lagi dan tidak ada yang bisa mereka perbuat.


Tanggapan Ayub Sebagai Bukti Kemurnian Imannya (Ayub 2:10)
            Ayat 10: “Tetapi jawab Ayub kepadanya: Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima yang buruk? Dalam kesemuanya itu, Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya”. Apa yang dikatakan Alkitab tentang respon Ayub atas perkataan istrinya, menunjukkan kualitas dan kemurnian iman Ayub dengan didasarkan pengenalan dan pemahamannya akan kedaulatan Allah yang mutlak dalam hidupnya. Hal ini memungkinkan Ayub untuk dapat bersabar dan menerima semua yang terjadi dengan tetap memandang Tuhan dengan segala kedaulatanNya yang adil. Dia menyadari bahwa segala ssuatu terjadi atas kehendak dan ijin Tuhan semata, dan imannya tidak tergoyahkan oleh situasi yang dia hadapi.











BAB III
PENUTUP
Dalam bagian inipenulis akan memaparkan kesimpulan dan juga saran bagi pembaca. Diharapkan dengan kesimpulan dan saran ini, pembaca dapat mengambil makna dari tulisan ini.
Kesimpulan
Setiap orang harus melewati setiap proses dalam hidupnya untuk menguji kemurnian imannya. Dengan pemahaman yang benar akan kedaulatan Allah dalam hidupnya, maka sesorang yang percaya akan dapat mengerti setiap proses yang akan dia jalani baik itu baik dan buruk. Orang percaya sejati harus mempersiapkan diri untuk diuji oleh Allah melalui kesengsaraan dan juga menerima yang baik dari tangan-Nya. Mempercayai Allah tidaklah berarti bahwa Dia senantiasa akan membebaskan kita dari kesulitan, demikian pula kesetiaan kepada Allah tidak menjamin kemakmuran dan keberhasilan. Yang harus dilakukan dan dimiliki oleh orang percaya adalah, apapun yang dihadapi, harus tetap berpegang pada imannya kepada Tuhan yang empunya kedaulatan mutlak.
Saran
            Dengan pembahasan diatas, maka penulis menyampaikan saran kepada pembaca supaya:
1.      Setiap orang percaya harus memiliki ketaatan, persekutuan dengan Allah, dan hidup dengan penuh kesalehan seperti Ayub
2.      Setiap orang percaya harus menyadari bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa ada saatnya, hidup tidak selamanya berada dalam situasi yang menyenangkan. Adakalanya kesulitan, penderitaan dan persoalan dihadapi sebagai proses untuk semakin memurnikan iman.
3.      Jangan pernah mempersalahkan Tuhan akan setiap keadaan yang dihadapi, melainkan tetaplah berfikir positif akan keadilan dan kedaulatan Tuhan.





[1]http://www.alkitab.or.id/biblika/RuangIstilah4.htm
[2] Dr. J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), Hal 150
[3]LAI, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, (Jakarta : LAI, 1993, hal 754-755

[4]www.google.com, Latar Belakang Kitab Ayub
[5] Ibid,....
[6]LAI, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan.
[7]Prof. Dr. S. Wismoady Wahono, Di sini Kutemukan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), hal 232
[8]Tremper Longman III & Taymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids : Zondervan, 2006), hal 225.

DAFTAR PUSTAKA

Blommendaal, Dr. J. PengantarKepadaPerjanjian Lama, Jakarta :BPK GunungMulia, 2009
http://www.alkitab.or.id/biblika/RuangIstilah4.htm
LAI, AlkitabPenuntunHidupBerkelimpahan, Jakarta : LAI, 1993, hal 754-755
Longman III,Tremper&Taymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament. Grand Rapids : Zondervan, 2006
Wahono, Prof. Dr. S. Wismoady.Di siniKutemukan.Jakarta :BPK GunungMulia, 2009
www.google.com, LatarBelakangKitabAyub

                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar