Jumat, 04 Desember 2015

MAKALAH: HAKIKAT MANUSIA

MAKALAH 

HAKIKAT MANUSIA


BAB I
PENDAHULUAN
            Dalam bab ini, penulis akan memaparkan dan menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan karya tulis ini dan batasan penulisan yang menjadi ruang lingkup pembahasan makalah ini.
Latar Belakang Masalah
            Dunia dihuni oleh berbagai macam mahluk hidup, mulai dari tumbuhan, hewan dan juga tentunya manusia. Manusia menjadi bagian dari alam semesta dan tinggal di dalam dunia. Firman Tuhan menyatakan bahwa dunia serta isinya diciptakan oleh Allah sebagai ciptaan yang “Sungguh amat baik”. Diantara semua ciptaan yang lain, maka manusia menjadi ciptaan yang paling sempurna. Manusia dikatakan sebagai mahkota dari semua ciptaan yang lain.
            Namun seiring berkembangnya pengetahuan dan teknologi manusia, maka banyak orang berusaha mencari tahu, bagaimana asal-usul manusia sebenarnya sesuai dengan apa yang dapat dipahami oleh manusia. Hal ini pada akhirnya menyebabkan banyak munculnya teori-teori mengenai asal-usul manusia, meskipun Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai ciptaan yang agung dan berharga karena diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah.
Rumusan Masalah
            Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka penulis akan merumuskan masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini, sebagai berikut:
1.        Apakah hakikat manusia itu?
2.        Bagaimana manusia diciptakan?
3.        Apa makna segambar dan serupa dengan Allah?



Tujuan Penulisan
            Berdasarkan pertanyaan pada rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.        Supaya pembaca mengetahui hakikat manusia sebenarnya.
2.        Supaya pembaca semakin mengerti bahwa manusia diciptakan Allah dengan sangat luar biasa.
3.        Supaya pembaca mengetahui dan memahami makna segambar dan serupa dengan Allah.
Batasan Penulisan
            Mengingat betapa luasnya pembahasan mengenai manusia, maka penulis perlu membatasi pembahasan pada karya tulis ini dengan hanya membahas hakikat manusia berdasarkan Kejadian 1 : 26-27, ditambah dengan beberapa sumber menyangkut teori tentang asal usul manusia. Penulis merasa bahwa apa yang dibahas dalam makalah ini sudah cukup memberikan sedikit pemahaman kepada pembaca sekalian.













BAB II
LANDASAN TEORI
            Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai hakikat manusia, manusia diciptakan oleh Allah, dan manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Hakikat Manusia
            Keberadaan manusia adalah sesuatu yang menarik untuk dibahas dan dibicarakan. beragam pandangan dan penelitian dilakukan untuk dapat memahami manusia. dalam bagian ini, penulis akan membahas mengenai hakikat manusia dalam kaitannya dengan banyaknya teori mengenai asal-usul manusia, unsur-unsur dalam diri manusia dan keberadaan manusia sebagai mahluk individu dan sosial.
Asal – Usul Manusia
            Keberadaan manusia didunia ini, mengundang banyak pendapat yang melahirkan teori-teori bagaimana manusia bisa ada didunia ini. banyak pakar berlomba-lomba mencari bukti, alasan dan kemungkinan asal-usul manusia. Dari sekian banyak teori yang mengemukakan asal-usul manusia, berikut ini akan dibahas beberapa teori tersebut:[1]Teori Cosmic: Teori ini mengatakan bahwa kehidupan dan alam semesta ini memang dari awal selalu ada. Karena alam semesta ini akan selalu ada, maka hal ini akan selalu terjadi selamanya dan terus menerus. Ancient Astronaut:       Ide umum dari teori ini adalah alien datang ke bumi berjuta-juta tahun yang lalu dan menabur kehidupan, baik untuk tujuan masa depan atau ketidaksengajaan, bahkan teori lain yang berdasar dari teori ini mengatakan bahwa dewa-dewa dari hampir seluruh agama adalah sebenarnya mahluk terestial (alien). Progressive Creationism: Teori ini mengatakan bahwa Tuhan membuat bumi secara perlahan-lahan dimana tanaman dan hewan membutuhkan waktu untuk beradaptasi agar mereka dapat cocok dengan kehidupan di dunia. Punctuated Equilibirium: Teori ini mengatakan bahwa jika evolusi adalah sebuah proses yang bertahap maka seharusnya penemuan-penemuan fosil memberikan banyak fosil yang menunjukkan proses transisi tersebut. Scientology: Teori ini mengatakan bahwa manusia berevolusi dari burung ke hewan lainnya lalu ke monyet, sebelum menghabiskan waktu ribuan tahun sebagai manusia purba.
            Theistic Evolution: Jika para pemercaya agama mengatakan bahwa evolusi menentang keberadaan Tuhan, maka Theistic Evoluton adalah teori yang menjembataninya. Ide utamanya tetap Tuhan yang menciptakan alam semesta dan isinya, hanya saja kali ini  penciptaan dengan menggunakan ilmu pengetahuan, yaitu Big Bang, fisika kuantum dan seterusnya. Alam semesta ini merupakan hasil dari Tuhan sebagai professor menggabungkan berbagai jenis atom dalam laboratorium suci pengetahuannya. Teori Evolusi Darwin: Salah satu teori yang paling dikenal mengenai keberadaan manusia, dimana ia mengatakan bahwa manusia sebenarnya berasal dari monyet yang berevolusi dalam jangka waktu lama hingga menjadi manusia purba dan manusia purba tersebut berevolusi lagi menjadi manusia modern seperti sekarang ini. Semua evolusi tersebut memakan jangka waktu yang sangat lama. Ini adalah teori yang melambangkan pengetahuan di mata para ilmuwan.
Unsur Manusia Sebagai Mahluk
            Manusia sebagai mahluk hidup, memiliki unsur-unsur yang menjadi bagian dari kehidupannya. Unsur-unsur ini menyusun manusia menjadi mahluk yang utuh dan hidup. Ada dua pandangan mengenai unsur-unsur dalam diri manusia, yakni pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk dikotomi yang terdiri dari dua unsur dan pandangan bahwa manusia adalah mahluk trikotomi yang terdiri dari trikotomi.
Dikotomi
            Para penganut dikotomi menyatakan bahwa manusia hanya terdiri dari 2 unsur saja, yaitu: tubuh dan jiwa (atau roh) saja. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara jiwa dan roh, sebab keduanya diyakini sebagai unsur yang sama, yaitu yang bersifat rohani. Contoh “gereja dikotomi: Reformed Church, Methodist, gereja-gereja tradisi, dan yang lainnya”.[2] Konsep dikotomi ini di anut sejak sekitar awal mula pemikiran Kristen. Menyusul konsili di konstantinopel pada tahun 381, pendapat ini menjadi makin populer sehingga dapat dikatakan menjadi kepercayaan yang secara resmi diterima oleh gereja. Kebanyakan para penganut teori ini mendasarkan pandangannya pada argumentasi bahwa ketika Allah menciptakan manusia, Allah menghembuskan ke dalam manusia hanya satu prinsip saja, yaitu jiwa/napas yang hidup. “Kej. 2:7, Penyebutan jiwa dan roh secara bersamaan seperti dalam I Tesalonika 5:23 dan Ibrani 4:12, tidak harus ditafsirkan sebagai adanya dua substansi yang berbeda, dan pada umumnya kesadaran manusia hanya menunjukkan adanya dua bagian dalam diri manusia, yaitu unsur yang badaniah/jasad (yang dapat dilihat) dan unsur rohaniah (yang tidak dapat dilihat)”.[3]
Trikotomi
            Yang mula-mula mempopulerkan trikotomi adalah Watchman Nee (1903-1972) seorang hamba Tuhan dari China, melalui bukunya yang diterbitkan dalam 3 volume dan berjudul: “Spiritual Man”. Yang menyatakan bahwa sebenarnya manusia terdiri dari 3 unsur, yaitu: tubuh, jiwa, dan roh. Lebih jauh dikatakan bahwa tubuh terdiri dari tulang, daging, darah, panca indra dan organ-organ tubuh. Sedangkan jiwa terdiri dari rasio, emosi, dan kemauan. Binatang berbeda dari manusia, sebab binatang hanya terdiri dari tubuh dan jiwa saja, tanpa hati nurani. Contoh “gereja trikotomi: gereja Pantekosta, karismatik, dan yang lainnya”.[4]



Manusia Sebagai Mahluk Individu Dan Sosial
Pada dasarnya,manusia adalah makhluk individu manusia yang merupakan bagian dan unit terkecil dari kehidupan sosial atau manusia sebagai makhluk sosial yang membentuk suatu kehidupan masyarakat, manusia merupakan kumpulan dari berbagai individu. Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah  yang pada hakikatnya mereka sebagai makhluk individu. Adapun yang dimaksud individu menurut(Effendi, 2010: 37) adalah berasal dari kata in dan divided. Dalam bahasa Inggris in mengandung pengertian tidak, sedangkan divided artinya terbagi. Jadi individu artinya tidak terbagi atau satu kesatuan.[5] Dalam hal ini, artinya bahwa manusia sebagai makhluk individu merupakan kesatuan aspek jasmani dan rohani atau fisik dan psikologis, apabila kedua aspek tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu.
Adapun yang dimaksud Istilah sosial menurut adalah ”Sosial” berasal dari akar kata bahasa Latin Socius, yang artinya berkawan atau masyarakat. Sosial memiliki arti umum yaitu kemasyarakatan dan dalam arti sempit mendahulukan kepentingan bersama atau masyarakat.[6] Adapun dalam hal ini yang dimaksud manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang hidup bermasyarakat, dan pada dasarnya setiap hidup individu tidak dapat lepas dari manusia lain. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya.

Manusia Diciptakan Oleh Allah
            Keberadaan manusia didunia ini bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. keberadaan manusia tidak dapat dilepaskan dari Allah. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa: “...Maka Allah menciptakan manusia itu…" (Kejadian 1:27). Manusia diciptakan dan diadakan oleh Allah. Penciptaan manusia oleh Allah merupakan suatu karya yang sangat luar biasa.
Diciptakan Dengan Pertimbangan Dan Perencanaan
            Dalam Kejadian 1:26 – firman Tuhan berkata: Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia...”. Allah menyebut "Kita" menunjukkan bahwa Allah adalah Allah yang Tritunggal. Allah dalam tiga Oknum ini sedang berdiskusi, merencanakan sesuatu bagi ciptaan teragung sehingga ditulis demikian jelas proses dari penciptaan itu. (Peta dan Teladan Allah, hal. 9). Apa yang disaksikan oleh Alkitab sangatlah menarik karena di dalam penciptaan yang lain, hanya dikatakan bahwa Allah berfirman dan semuanya jadi. Tetapi ketika Allah akan menciptakan manusia tidak demikian prosesnya, melainkan : “Baiklah Kita menjadikan manusia…” (Kej 1:26). R. Soedarmo dalam bukunya mengatakan bahwa “Tuhan Allah waktu menjadikan makhluk-makhluk lain hanya berfirman saja “Jadilah ini” dan “Jadilah itu”, tetapi ketika Tuhan akan menjadikan manusia, Ia bermusyawarah”.[7] (Ikhtisar Dogmatika, hal. 139).  Sementara itu, Budi Asali mengatakan bahwa “Allah berunding dulu sebelum menciptakan manusia (Kej 1:26-27), ini adalah perundingan ilahi, karena dilakukan antar pribadi-pribadi dalam Allah Tritunggal”.[8] Sedangkan Stephen Tong berpandangan bahwa “sebelum Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus mencipta, Mereka berdiskusi dan Allah berkata, 'Mari Kita menciptakan manusia menurut peta dan teladan Kita”.[9] Semua ini menunjukkan bahwa manusia sangat berharga dan istimewa di hadapan Allah.


Diciptakan Langsung Oleh Allah
            Teori evolusi yang dipelopori oleh Charles Darwin lewat bukunya Origin of the Species pada tahun 1859, mengatakan bahwa semua mahluk hidup yang ada didunia ini adalah hasil dari evolusi. Akan tetapi hal ini bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Alkitab, bahwa manusia adalah hasil ciptaan Allah yang diciptakan secara langsung dan sempurna. Alkitab mengatakan dalam Kejadian 2:7, “...ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah...” hal ini berarti bahwa ketika Allah membentuk dan menciptakan manusia, maka langsung berwujud manusia, bukan berwujud mahluk yang lain. Manusia diciptakan dengan tanganNya sendiri (Kejadian 2:7, Ibr.yatser, aktivitas yang kreatif), Allah membentuk (to carve, yatser). “Didalam kata yatser mengandung unsur seni”.[10]
Dihidupkan Dengan Nafas Allah
Setelah Allah membentuk manusia dari debu tanah, maka Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Allah menghembuskan “nafas” ke dalam hidungnya, sehingga manusia menjadi hidup. Kehidupan diperoleh manusia setelah Allah menghembuskan “nafas” kepada manusia. Tanpa “nafas” dari Allah, manusia hanyalah sebongkah tanah yang mati. “Manusia yang memiliki nafas hidup dari Allah adalah hasil karya Allah yang keadaannya berlainan sekali dengan Allah yang menciptakannya”.[11]
Diciptakan Segambar Dan Serupa Dengan Allah
            Alkitab menyatakan bahwa Allah membentuk dan menciptakan manusia seturut dengan rupa dan gambar Allah (Kejadian 2:26). Ini adalah keistimewaan manusia dibandingkan dengan ciptaan yang lain.
Makna Segambar Dan Serupa Dengan Allah
            Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang istimewa, yaitu sebagai gambar Allah, dalam bahasa Ibrani disebut “tselem dan dalam bahasa Latin disebut “Imago Dei”.[12] Segambar dengan Allah artinya adalah:[13] gambar Allah yang ada pada diri manusia hanya ditemukan melalui kapasitas-kapasitas akal budi, emosi, kehendak, imajinasi, relasi sosial. Diciptakan menurut rupa Allah, memiliki makna bahwa manusia mampu menanggapi dan menjalin persekutuan dengan Allah, dan mencerminkan kasih, kemuliaan, dan kekudusan.
Tujuan Diciptakan Serupa Dan Segambar Dengan Allah
            Yang menjadi tujuan Allah menciptakan manusia serupa dan segambar dengan-Nya adalah Pertama, menunjukkan hubungan yang khusus antara manusia dengan Allah sebagai penciptannya. Tujuannya adalah, sebagai gambar Allah, manusia harus dapat mengasihi Allah dengan benar. Adam dan Hawa memiliki kesamaan moral dengan Allah, karena mereka adalah benar dan kudus (bd. Ef 4:24), dengan hati yang sanggup mengasihi dan ingin melakukan yang benar. Mereka memiliki kesamaan inteligensi (akal) dengan Allah, karena mereka diciptakan dengan roh, pikiran, perasaan, dan kuasa untuk memilih (Kej 2:19-20; 3:6-7).
            Kedua, Cerminan hubungan manusia dengan sesamanya. Manusia tidak ciptakan hanya sebagai laki-laki tetapi juga diciptakan sebagai perempuan. Tujuannya: Sebagaimana hakekat Allah Tritunggal demikianlah manusia sebagai gambar Allah harus  hidup dalam persekutuan dengan sesamanya. Ketiga, Hubungan manusia dengan makhluk ciptaan yang lain. Tujuannya : Sebagai gambar Allah, manusia diberikan wewenang, tugas dan tanggung jawab oleh Allah untuk menguasai bumi atas nama Allah (1:26-29; bdk Maz 8:7-9).
Tugas Dan Tanggung Jawab Manusia
            Sebagai ciptaan yang sempurna jika dibandingkandengan mahluk lain, maka manusia memiliki tempat dan hak yang istimewa yang tidak dimiliki oleh mahluk lain. Yang menjadi “tugas dan tanggung jawab manusia adalah sebagai mandataris Allah, manusia diciptakan untuk memuliakan Tuhan, diciptakan untuk menikmati persekutuan dengan Tuhan, diciptakan untuk melakukan kehendak-Nya (Yohanes 14:21),dan untuk mengenal Allah dan kehendakNya”. [14]

BAB III
PENUTUP
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan kesimpulan dan saran bagi pembaca. Diharapkan kesimpulan dan saran ini, pembaca dapat mengambil makna dari tulisan ini.
Kesimpulan
            Manusia diciptakan Allah dengan cara yang luar biasa, dengan perencanaan dari Allah, hingga akhirnya Allah sendiri yang membentuk manusia dari debu tanah, bahkan menghembuskan nafas hiidup ke dalam hidung manusia sehingga manusia menjadi mahluk yang hidup. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, yang didalamnya terkandung makna dan tujuan yang tidak lain adalah mengacu kepada hubungan dengan Allah dan dengan sesama serta lingkungan. Manusia mewarisi sebagian sifat dan natur Allah meskipun sebagai ciptaan, tidak akan pernah menjadi sama dengan Allah.
Saran
            Melalui karya tulis ini, penulis akan menyampaikan saran kepada pembaca, yaitu:
1.        Bersyukur dan menghargai apa yang telah Tuhan berikan
2.        Memiliki pemahaman yang benar akan penciptaan manusia sesuai dengan Alkitab sehingga tidak mudah disesatkan oleh pengajaran dan teori-teori yang salah
3.        Dengan kekuatan yang dari Tuhan, setiap orang percaya harus memenuhi apa yang menjadi Tujuan Alah menciptakan manusia.


                [5] Effendi, R. dan Setiadi, E.M. Pendidikan Lingkungan, Sosial, Budaya dan Teknologi. Bandung: UPI Press (2010). h. 37.
                [6] Ariska, I. (2013). Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial. [Online
[7] R. Sudarmo, Ikhtisar Dogmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, h. 139.
[8] Budi Asali, Eksposisi Kitab Kejadian, h. 9.
[9] Stephen Tong, Peta dan Teladan Allah, Jakarta: momentum h. 9.
[11] http://pudhan.blogspot.com/2011/11/hakikat-manusia.html
[12] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010, h. 9-21
[13] http://gkkbybaru.org/?page_id=432

MAKALAH: KEDAULATAN ALLAH DALAM PENDERITAAN AYUB

MAKALAH
KEDAULATAN ALLAH DALAM PENDERITAAN AYUB
AYUB 1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………

BABI.      PENDAHULUAN……………
                 LatarBelakangMasalah……….………….
                 RumusanMasalah……….………
                 TujuanPenulisan…………..…
                 BatasanPenulisan …

BAB II.   PEMAHAMAN YANG BENAR AKAN KEDAULATAN ALLAH SEBAGAI KEKUATAN DALAM MENGHADAPI PENDERITAAN.................
                 Definisi Iman................
                 Penderitaan Yang Dialami Oleh Ayub.
                 Kedaulatan Allah Dalam Kehidupan Manusia.................
                 Eksposisi Ayub 2 :9-10.....................
                           Latar Belakang Kitab................................
                                    Penulis Kitab Dan Waktu Penulisan..................
                                    Tujuan Penulisan Kitab.............................
                          Latar Belakang Teks Ayub 2:9-10...................
                          Eksposisi Ayub 2:9-10...........................
                            Tanggapan Istri Ayub “Kesalehan Adalah Sia-Sia
                            (Ayub 2:9)”
                            Tanggapan Ayub Sebagai Bukti Kemurnian Imannya...

BAB III.  PENUTUP................................
                 Kesimpulan................................
                 Saran...............................

DAFTAR KEPUSTAKAAN................


BAB I
PENDAHULUAN
            Dalam bab ini, penulis akan memaparkan dan menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan karya tulis ini dan batasan penulisan yang menjadi ruang lingkup pembahasan makalah ini.
Latar Belakang Masalah
            Dalam pemahaman manusia, bahwa setiap orang yang hidup benar dihadapan Tuhan akan hidup dalam kebahagiaan dan bagi orang yang hidup tidak benar serta jauh dari Tuhan akan hidup menderita. Namun dalam kenyataan hidup, terkadang ditemui bahwa orang yang hidup tidak benar, jauh dari Tuhan, tidak takut akan Tuhan,  hidup dengan berlimpah materi, mengalami kebahagiaan. Sebaliknya justru ada orang yang hidup benar dihadapan Tuhan, takut akan Tuhan, mengalami hidup yang berat dan menghadapi penderitaan dalam hidupnya. Salah satu contoh yang terjadi adalah pengalaman hidup Ayub.
            Banyak orang akan mengajukan pertanyaan, ketika mendapati orang yang benar hidupnya justru menderita. Hal ini karena anggapan yang sudah melekat pada pemikiran manusia bahwa orang yang hidup benar, baik, jujur, dan memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan akan menikmati kehidupan yang baik dan bahagia. Dengan anggapan ini, orang akan sulit menerima keadaan yang sulit, dan cenderung mempersalahkan Tuhan serta kecewa dengan keadaan yang dia alami.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah?
-          Apakah itu Penderitaan?
-          Bagaimana kedaulatan Allah terhadap kehidupan manusia?
-          Bagaimana pandangan Ayub dan istrinya terhadap penderitaan yang dialami?
Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ini adalah:
-          Supaya pembaca mengetahui apa itu penderitaan
-          Supaya pembaca memahami kedaulatan Allah kepada hidup manusia baik dalam hal yang baik, maupun hal yang buruk.
-          Supaya pembaca memahami pandangan Ayub ketika menghadapi penderitaan sebagai dampak dari pengenalan dan persekutuannya dengan Allah.
Batasan Penulisan
            Mengingat betapa luasnya pembahasan ini, maka penulis merasa perlu membatasi ruang lingkup pembahasan ini dengan hanya mengeksposisi Ayub 2: 9-10 sebagai dasar dan pegangan bagi setiap orang percaya dalam menghadapi penderitaan. Perkataan Ayub dalam pasal 2: 10 cukup menjadi kekuatan bagi orang percaya untuk memiliki pemahaman yang benar akan kehendak dan keadilan Allah sehingga mendorong untuk mampu menghadapi penderitaan dan kesulitan yang dihadapi.
BAB II
PEMAHAMAN YANG BENAR AKAN KEDAULATAN ALLAH
SEBAGAI KEKUATAN DALAM MENGHADAPI PENDERITAAN
AYUB 2: 9-10
            Dalam bagian ini, penulis akan memaparkan definisi dari iman, melihat penderitaan yang dialami Ayub dengan meneliti latar belakang Ayub, melihat kedaulatan Allah yang mengatur kehidupan manusia, dan tanggapan Ayub dan istrinya atas penderitaan yang mereka alami dari eksposisi teks dengan memperhatikan latar belakang kitab Ayub sendiri dan latar belakang teks Ayub 2:9-10.
Definisi Iman
Kata "iman" dan  kata kerjanya "percaya" sering muncul dalam Al­kitab, dan memang merupakan istilah penting yang meng­gam­bar­kan hubungan antara umat  atau  seseorang  dengan Allah. Di bawah ini akan ditin­jau secara singkat  makna istilah itu dalam Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Baru. Kata "iman" yang dipakai dalam Perjanjian Baru me­ru­pakan terjemahan dari kata Yunani πίστις (pistis), sedangkan kata kerja­nya "percaya" adalah terjemahan dari kata πιστεύω (pisteuoo).  Kata-kata ini sudah dipakai dalam Septuaginta, Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dalam bahasa Yunani, sebagai terjemahan kata Ibrani aman, yang berarti keadaan yang benar dan dapat dipercayai/diandalkan. Kata ini dan kata-kata sekelompoknya dalam Alkitab Ibrani sering digunakan untuk me­nyatakan rasa percaya kepada Allah dan percaya kepada firman-Nya. Per­caya kepada Allah mencakup arti percaya bahwa Ia benar dan dapat diandalkan, mempercayakan diri kepada-Nya, dan taat serta setia kepa­da-Nya. Percaya pada firman-Nya berarti percaya dan menerima  apa yang sudah difirmankan-Nya itu.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah iman dan percaya dalam Alkitab sering mengandung komponen-komponen makna sebagai berikut:percaya dan menerima bahwa sesuatu itu benar,mengandalkan/mempercayakan diri, setia, dantaat.[1]
Penderitaan Yang Dialami Oleh Ayub
            Dari Ayub 1:1 dengan jelas dikatakan siapakah Ayub itu. Alkitab dengan jelas mencatat bahwa Ayub adalah seorang yang saleh, jujur, hidup takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.  Dari lesaksian Alkitan itu, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Ayub memiliki relasi yang baik dengan Allah dalam hidupnya. Hidup yang demikian ia jalani dengan didasari atas pengenalanya akan Allah. Bahkan dalam ayat 4 dan 5, menunjukkan bahwa Ayub adalah imam yang baik bagi keluarganya dan menjadi contoh bagi keluarganya. Dia menginginkan hidup keluarganya berkenan kepada Allah dan dia tidak ingin ada dosa yang mungkin tersembunyi sekalipun dalam keluarganya. Oleh karena itu dia selalu memberikan korban untuk menebus kesalahan dan dosa anak-anaknya. Sungguh Ayub telah menunjukkan hidup benar dihadapan Allah. Secara ekonomi, Ayub adalah orang terkaya di antara orang sezamannya yang ada disebelah timur di tanah Us. Hal ini tentu membuat kedudukannya dalam kehidupan sosial pada masa itu sebagai orang terpandang dan dihormati.
            Akan tetapi, hanya dalam waktu yang sekejap, kehidupan Ayub berubah, ketika Iblis ingin membuktikan kemurnian iman Ayub kepada Allah. Maka dengan seijin Tuhan, Iblis menimpakan malapetaka kepada anak-anak Ayub (1:19), hartanya, bahkan diri Ayub sendiri. Semua anak-anaknya mati dalam waktu yang bersamaan, dan semua hartanya habis dalam waktu sekejap. Tidak hanya itu, Iblis dengan keangkuhannya menimpakan penyakit yang menyiksa Ayub.
Kedaulatan Allah Dalam Kehidupan Manusia
Jika  berbicara tentang kedaulatan Allah, maka akan mengarah kepada hak Allah dalam rencana-Nya, tindakan-Nya dan segala sesuatu yang Ia lakukan dalam kehidupan manusia.  Allah sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya, memiliki hak mutlak untuk mengatir kelangsungan kehidupan yang ada dalam alam semesta ini. Ia juga yang menciptakan manusia, dengan rencana, rancangan dan tindakanNya yang bersifat mutlak. Oleh karena itu, Ia memiliki hak dan kedaulatan yang mutlak atas kehidupan manusia. Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia terjadi menurut kehendakNya dan atas ijinNya. Alkitab berkata dalam Yesaya 45:7 “yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang,Akulah TUHAN yang membuat semuanya ini. Sekalipun manusia memiliki kehendak, keinginan, rencana dalam hidupnya, namun yang terjadi adalah seturut kehendak Tuhan (Amsal 16:9). Tidak ada sesuatupun yang terjadi, tanpa sepengetahuan Allah.Kebahagiaan, penderitaan, sehat, sakit, kelahiran, kematian, semua itu merupakan proses yang harus dilalui semua manusia sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan.
Eksposisi Ayub 2:9-10
            Dalam bagian ini, penulis akan memberikan pemaparan mengenai kitab Ayub sendiri yang meliputi latar belakang kitab, penulis dan waktu penulisan, ciri khas kitab ini, tujuan penulisan kitab ini dan latar belakang teks Ayub 2:9-10 serta eksposisinya.
Latar Belakang Kitab
Kitab Ayub adalah salah satu kitab nabi dalam Perjanjian Lama yang terdiri dari 42 pasal. Akan tetapi menurut Blommendaal kitab Ayub yang asli hanya terdiri dari 2 pasal saja, yaitu pasal 1,2 dan 42:7-17 sedangkan selebihnya adalah tambahan bahan dalam bentuk puisi dan berisikan pembicaraan antara Ayub dan teman-temannya (pasal 3-42:6).[2] Kitab Ayub termasuk dalam Sastera Hikmah (Hikmat) sehingga kitab ini tidak mempunyai hubungan dengan sejarah Israel.Kitab Ayub bukanlah kitab yang berasal dari Israel melainkan berasal dari Edom. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemakaian bahasa dalam penulisannya menggunakan bahasa Semitis Selatan dan juga terasa pengaruh bahasa Aram di dalamnya. Diduga kitab ini ditulis sesudah masa pembuangan. Sedangkan menurut Alkitab Penuntun, tempat terjadinya peristiwa adalah di tanah Us yang kemudian menjadi wilayah Edom yang terletak di bagian tenggara laut mati/sebelah utara Arabia. Sehinga latar belakang kitab Ayub bersifat Arab dan bukan Ibrani.[3]Para sarjana sekular percaya bahwa bagian pengantar dan penutup dari kitab ini yang merupakan kerangkanya disusun untuk menempatkan puisi sentralnya ke dalam bentuk prosa "kitab rakyat" seperti yang diungkapkan oleh para penyusun Jewish Encyclopedia (Ensiklopedia Yahudi). Di dalam prolog dan epilog, nama Allah adalah Yahweh, sebuah nama yang bahkan digunakan oleh orang-orang Edom.[4]
Penulis Kitab Dan Waktu Penulisan
Ada banyak pendapat yang mengemukakan tentang pengarang dari kitab Ayub. Dua tradisi Talmud mengatakan bahwa Ayub hidup di masaAbraham atau Yakub. Lewi ben Lahma mengatakan bahwa Ayub hidup di masa Musa, yang kemudian menulis Kitab Ayub itu sendiri. Yang lainnya berpendapat bahwa Ayub sendirilah yang menulis kitab ini, atau Elihu atau Yesaya. Dari bukti-bukti internal, seperti misalnya kesamaan perasaan dan bahasa dengan apa yang ditemukan dalam Kitab Mazmur dan Amsal (Mazmur 88 dan 89), maraknya gagasan tentang "hikmat," dan gaya serta sifat komposisinya, diduga bahwa kitab ini telah ditulis pada masa Raja Daud dan Raja Salomo.[5]
Akan tetapi, ada  sumber yang berpendapat lain tentang tanggal penulisan kitab ini. Dua tanggal penting yang dicatat adalah :Tanggal kehidupan Ayub sendiri dan peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam kitab ini, dan tanggal penulis kitab ini yang diilhamkan. Beberapa fakta menunjukkan bahwa Ayub sendiri hidup sekitar zaman Abraham (2000 SM) atau sebelumnya.[6] Fakta-fakta yang penting adalah : Ayub masih hidup selama 140 tahun setelah peristiwa-peristiwa dalam kitab ini (42:16) yang menunjukan jangka hidup yang hampir 200 tahun. Kekayaannya dihitung dari jumlah ternak (1:3 dan 42:12). Pelayannaya sebagai imam dalam keluarganya seperti Abraham, Ishak dan Yakub (1:5). Sistem keluarga pimpinan ayah menjadi kesatuan sosial mendasar seperti pada zaman Abraham (1:4-5, 13). Serbuan orang-orang Syeba (1:15) dan orang-orang Kasdim (1:17) yang cocok dengan zaman Abraham. Seringkali (31 kali) penulis memakai nama yang dipakai para patriarkh bagi Tuhan, yaitu Shaddai (Yang Maha Kuasa). Tidak ada petunjuk sama sekali kepada sejarah Israel atau hukum Musa sehingga memberi kesan tentang zaman pra-Musa (1500 SM).
Tujuan Penulisan Kitab
Tujuan Kitab Ayub adalah memberikan penjelasan tentang keadilan Tuhan bagi orang benar. Penderitaan yang dialami oleh Ayub merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami menurut konteks keagamaan pada waktu itu. Konsep tradisional mengajarkan bahwa ketaatan akan membawa berkat (1:1-3), sedangkan ketidaktaatan menghasilkan kutukan. Aliran hikmat menekankan sifat Tuhan yang transendens, yang penuh rahasia dan rasa takut dan gentar pada diri manusia apabila manusia berhadapan dengan kuasa Tuhan itu. Dalam kerangka pikir seperti inilah Ayub dan tiga orang sahabatnya bergumul tentang keadaan Ayub. Bagi Ayub yang tidak merasa bersalah (bdk. 1:5; 10:7; 13:18, 23; 27:5; 31:1-40), penderitaannya tampak sebagai sesuatu yang tidak adil. Sebaliknya, para sahabat Ayub dengan yakin menuduh Ayub telah berbuat dosa tertentu (bdk. 4:7-8).[7]Sementara itu yang paling disorot oleh Tremper Longman III & Taymond B. Dillard, dalam bukunya An Introduction to the Old Testament sebenarnya bukan alasan mengapa Ayub menderita, tetapi keputusan Allah yang memberkati orang benar.[8]Setan menganggap keputusan tersebut bersifat kontraproduktif karena kesalehan seseorang menjadi tidak murni. Seseorang cenderung untuk hidup dengan saleh hanya karena menginginkan berkat TUHAN (1:9-11; 2:3-5).
Latar Belakang Teks Ayub 2:9-10
            Ayub 2:9-10 merupakan dialog antara Ayub dengan istrinya menyikapi dan menanggapi situasi yang sedang mereka hadapi. Setelah semua harta benda dan kekayaan Ayub habis, di susul dengan kematian semua anak-anaknya dan ditambah dengan penyakit parah yang diderita Ayub, istri Ayub mengemukakan pendapatnya, sebagai bentuk kekecewaan kepada Tuhan. Sementara itu Ayub menentang pendapat istrinya dengan didasarkan atas imannya dan pemahamannya akan kedaulatan Allah sehingga dalam semua yang dilakukannya, Ayub tidak berbuat dosa.
Eksposisi Ayub 2: 9-10
            Ayub 2:9-10 terbagi dalam dua bagian, yang pertama adalah pendapat Istri Ayub terhadap kesalehan Ayub yang seakan sia-sia dan bagian kedua, sanggahan Ayub terhadap perkataan Istrinya.
Tanggapan Istri Ayub “Kesalehan adalah sia-sia (Ayub 2:9)”
            Ayat 9: “Maka berkatalah istrinya kepadanya: masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah”. Perkataan ini adalah ungkapan kekecewaan, kemarahan, dan keputus asaan istri Ayub dengan penderitaan yang dialami. Istri Ayub seakan ingin mengatakan bahwa tidak ada gunanya jika Ayub masih bertahan dalam kesalehannya. Apa yang dikatakan Iblis dalam  pasal 2:5, terjadi pada dirinya. Dia beranggapan bahwa kesalehan ternyata tidak menjauhkan mereka dari penderitaan. Bahkan untuk hidup takut akan Allah pun tidak ada gunanya sehingga dengan tanpa ragu dia menyarankan agar Ayub mengutuki Allahnya. Dengan kata lain, Istrinya menyarankan supaya Ayub meninggalkan Tuhan, dan mengakhiri hidupnya, karena tidak ada pengharapan lagi dan tidak ada yang bisa mereka perbuat.


Tanggapan Ayub Sebagai Bukti Kemurnian Imannya (Ayub 2:10)
            Ayat 10: “Tetapi jawab Ayub kepadanya: Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima yang buruk? Dalam kesemuanya itu, Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya”. Apa yang dikatakan Alkitab tentang respon Ayub atas perkataan istrinya, menunjukkan kualitas dan kemurnian iman Ayub dengan didasarkan pengenalan dan pemahamannya akan kedaulatan Allah yang mutlak dalam hidupnya. Hal ini memungkinkan Ayub untuk dapat bersabar dan menerima semua yang terjadi dengan tetap memandang Tuhan dengan segala kedaulatanNya yang adil. Dia menyadari bahwa segala ssuatu terjadi atas kehendak dan ijin Tuhan semata, dan imannya tidak tergoyahkan oleh situasi yang dia hadapi.











BAB III
PENUTUP
Dalam bagian inipenulis akan memaparkan kesimpulan dan juga saran bagi pembaca. Diharapkan dengan kesimpulan dan saran ini, pembaca dapat mengambil makna dari tulisan ini.
Kesimpulan
Setiap orang harus melewati setiap proses dalam hidupnya untuk menguji kemurnian imannya. Dengan pemahaman yang benar akan kedaulatan Allah dalam hidupnya, maka sesorang yang percaya akan dapat mengerti setiap proses yang akan dia jalani baik itu baik dan buruk. Orang percaya sejati harus mempersiapkan diri untuk diuji oleh Allah melalui kesengsaraan dan juga menerima yang baik dari tangan-Nya. Mempercayai Allah tidaklah berarti bahwa Dia senantiasa akan membebaskan kita dari kesulitan, demikian pula kesetiaan kepada Allah tidak menjamin kemakmuran dan keberhasilan. Yang harus dilakukan dan dimiliki oleh orang percaya adalah, apapun yang dihadapi, harus tetap berpegang pada imannya kepada Tuhan yang empunya kedaulatan mutlak.
Saran
            Dengan pembahasan diatas, maka penulis menyampaikan saran kepada pembaca supaya:
1.      Setiap orang percaya harus memiliki ketaatan, persekutuan dengan Allah, dan hidup dengan penuh kesalehan seperti Ayub
2.      Setiap orang percaya harus menyadari bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa ada saatnya, hidup tidak selamanya berada dalam situasi yang menyenangkan. Adakalanya kesulitan, penderitaan dan persoalan dihadapi sebagai proses untuk semakin memurnikan iman.
3.      Jangan pernah mempersalahkan Tuhan akan setiap keadaan yang dihadapi, melainkan tetaplah berfikir positif akan keadilan dan kedaulatan Tuhan.




[1]http://www.alkitab.or.id/biblika/RuangIstilah4.htm
[2] Dr. J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), Hal 150
[3]LAI, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, (Jakarta : LAI, 1993, hal 754-755

[4]www.google.com, Latar Belakang Kitab Ayub
[5] Ibid,....
[6]LAI, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan.
[7]Prof. Dr. S. Wismoady Wahono, Di sini Kutemukan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), hal 232
[8]Tremper Longman III & Taymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids : Zondervan, 2006), hal 225.

Kepada pemcbaca..
makalah ini memanglah tidak sempurna.
namun penulis berharap bahwa makalah ini bisa membantu pembaca dalam melihat dan menghadapi setiap persoalan dalam perjalanan hidup.

 Tuhan Yesus memberkati,


Pdt. Didik Suryanto,