PEMAHAMAN YANG BENAR AKAN KEDAULATAN ALLAH
SEBAGAI KEKUATAN DALAM MENGHADAPI PENDERITAAN
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI……………………………………......
BABI. PENDAHULUAN…………………...
LatarBelakangMasalah……….………….
RumusanMasalah……….……….…….
TujuanPenulisan…………..……
BatasanPenulisan ……………
BAB
II. PEMAHAMAN YANG BENAR AKAN KEDAULATAN ALLAH
SEBAGAI KEKUATAN DALAM MENGHADAPI PENDERITAAN.......
Definisi Iman.......................
Penderitaan Yang Dialami Oleh Ayub..…...
Kedaulatan Allah Dalam
Kehidupan Manusia.............
Eksposisi Ayub 2 :9-10.......................................
Latar
Belakang Kitab...........................
Penulis
Kitab Dan Waktu Penulisan..................
Tujuan
Penulisan Kitab...........
Latar Belakang Teks
Ayub 2:9-10...............
Eksposisi Ayub
2:9-10...............
Tanggapan Istri Ayub
“Kesalehan Adalah Sia-Sia
(Ayub
2:9)”.......................
Tanggapan Ayub
Sebagai Bukti Kemurnian Imannya..
BAB III. PENUTUP.................
Kesimpulan.................
Saran.......................................................
DAFTAR
KEPUSTAKAAN..............
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan dan menjelaskan
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan karya tulis ini dan
batasan penulisan yang menjadi ruang lingkup pembahasan makalah ini.
Latar Belakang Masalah
Dalam
pemahaman manusia, bahwa setiap orang yang hidup benar dihadapan Tuhan akan
hidup dalam kebahagiaan dan bagi orang yang hidup tidak benar serta jauh dari
Tuhan akan hidup menderita. Namun dalam kenyataan hidup, terkadang ditemui
bahwa orang yang hidup tidak benar, jauh dari Tuhan, tidak takut akan
Tuhan, hidup dengan berlimpah materi,
mengalami kebahagiaan. Sebaliknya justru ada orang yang hidup benar dihadapan
Tuhan, takut akan Tuhan, mengalami hidup yang berat dan menghadapi penderitaan
dalam hidupnya. Salah satu contoh yang terjadi adalah pengalaman hidup Ayub.
Banyak orang akan mengajukan pertanyaan, ketika mendapati
orang yang benar hidupnya justru menderita. Hal ini karena anggapan yang sudah
melekat pada pemikiran manusia bahwa orang yang hidup benar, baik, jujur, dan
memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan akan menikmati kehidupan yang baik dan
bahagia. Dengan anggapan ini, orang akan sulit menerima keadaan yang sulit, dan
cenderung mempersalahkan Tuhan serta kecewa dengan keadaan yang dia alami.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah?
-
Apakah itu
Penderitaan?
-
Bagaimana kedaulatan
Allah terhadap kehidupan manusia?
-
Bagaimana pandangan
Ayub dan istrinya terhadap penderitaan yang dialami?
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ini
adalah:
-
Supaya pembaca mengetahui
apa itu penderitaan
-
Supaya pembaca
memahami kedaulatan Allah kepada hidup manusia baik dalam hal yang baik, maupun
hal yang buruk.
-
Supaya pembaca
memahami pandangan Ayub ketika menghadapi penderitaan sebagai dampak dari
pengenalan dan persekutuannya dengan Allah.
Batasan Penulisan
Mengingat
betapa luasnya pembahasan ini, maka penulis merasa perlu membatasi ruang
lingkup pembahasan ini dengan hanya mengeksposisi Ayub 2: 9-10 sebagai dasar
dan pegangan bagi setiap orang percaya dalam menghadapi penderitaan. Perkataan
Ayub dalam pasal 2: 10 cukup menjadi kekuatan bagi orang percaya untuk memiliki
pemahaman yang benar akan kehendak dan keadilan Allah sehingga mendorong untuk
mampu menghadapi penderitaan dan kesulitan yang dihadapi.
BAB II
PEMAHAMAN YANG
BENAR AKAN KEDAULATAN ALLAH
SEBAGAI
KEKUATAN DALAM MENGHADAPI PENDERITAAN
AYUB 2: 9-10
Dalam bagian ini, penulis akan memaparkan definisi dari
iman, melihat penderitaan yang dialami Ayub dengan meneliti latar belakang
Ayub, melihat kedaulatan Allah yang mengatur kehidupan manusia, dan tanggapan
Ayub dan istrinya atas penderitaan yang mereka alami dari eksposisi teks dengan
memperhatikan latar belakang kitab Ayub sendiri dan latar belakang teks Ayub
2:9-10.
Definisi
Iman
Kata
"iman" dan kata kerjanya "percaya" sering muncul
dalam Alkitab, dan memang merupakan istilah penting yang menggambarkan
hubungan antara umat atau seseorang dengan Allah. Di bawah
ini akan ditinjau secara singkat makna istilah itu dalam Alkitab,
khususnya dalam Perjanjian Baru. Kata "iman" yang dipakai dalam
Perjanjian Baru merupakan terjemahan dari kata Yunani πίστις (pistis),
sedangkan kata kerjanya "percaya" adalah terjemahan dari kata
πιστεύω (pisteuoo). Kata-kata ini sudah dipakai dalam Septuaginta,
Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dalam bahasa Yunani, sebagai terjemahan kata
Ibrani “aman”, yang berarti keadaan yang benar dan dapat dipercayai/diandalkan. Kata ini
dan kata-kata sekelompoknya dalam Alkitab Ibrani sering digunakan untuk menyatakan
rasa percaya kepada Allah dan percaya kepada firman-Nya. Percaya kepada Allah
mencakup arti percaya bahwa Ia benar dan dapat diandalkan, mempercayakan diri
kepada-Nya, dan taat serta setia kepada-Nya. Percaya pada firman-Nya berarti
percaya dan menerima apa yang sudah difirmankan-Nya itu.Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa istilah iman dan percaya dalam Alkitab sering
mengandung komponen-komponen makna sebagai berikut:percaya dan menerima bahwa
sesuatu itu benar,mengandalkan/mempercayakan diri, setia, dantaat.[1]
Penderitaan
Yang Dialami Oleh Ayub
Dari
Ayub 1:1 dengan jelas dikatakan siapakah Ayub itu. Alkitab dengan jelas
mencatat bahwa Ayub adalah seorang yang saleh, jujur, hidup takut akan Allah
dan menjauhi kejahatan. Dari lesaksian
Alkitan itu, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Ayub memiliki relasi yang baik
dengan Allah dalam hidupnya. Hidup yang demikian ia jalani dengan didasari atas
pengenalanya akan Allah. Bahkan dalam ayat 4 dan 5, menunjukkan bahwa Ayub
adalah imam yang baik bagi keluarganya dan menjadi contoh bagi keluarganya. Dia
menginginkan hidup keluarganya berkenan kepada Allah dan dia tidak ingin ada
dosa yang mungkin tersembunyi sekalipun dalam keluarganya. Oleh karena itu dia
selalu memberikan korban untuk menebus kesalahan dan dosa anak-anaknya. Sungguh
Ayub telah menunjukkan hidup benar dihadapan Allah. Secara ekonomi, Ayub adalah
orang terkaya di antara orang sezamannya yang ada disebelah timur di tanah Us.
Hal ini tentu membuat kedudukannya dalam kehidupan sosial pada masa itu sebagai
orang terpandang dan dihormati.
Akan tetapi, hanya dalam waktu yang sekejap, kehidupan
Ayub berubah, ketika Iblis ingin membuktikan kemurnian iman Ayub kepada Allah.
Maka dengan seijin Tuhan, Iblis menimpakan malapetaka kepada anak-anak Ayub
(1:19), hartanya, bahkan diri Ayub sendiri. Semua anak-anaknya mati dalam waktu
yang bersamaan, dan semua hartanya habis dalam waktu sekejap. Tidak hanya itu,
Iblis dengan keangkuhannya menimpakan penyakit yang menyiksa Ayub.
Kedaulatan
Allah Dalam Kehidupan Manusia
Jika berbicara tentang kedaulatan Allah, maka akan
mengarah kepada hak Allah dalam rencana-Nya, tindakan-Nya dan segala sesuatu
yang Ia lakukan dalam kehidupan manusia.
Allah sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya, memiliki hak
mutlak untuk mengatir kelangsungan kehidupan yang ada dalam alam semesta ini.
Ia juga yang menciptakan manusia, dengan rencana, rancangan dan tindakanNya
yang bersifat mutlak. Oleh karena itu, Ia memiliki hak dan kedaulatan yang
mutlak atas kehidupan manusia. Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan
manusia terjadi menurut kehendakNya dan atas ijinNya. Alkitab berkata dalam
Yesaya 45:7 “yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan
nasib mujur dan menciptakan nasib malang,Akulah TUHAN yang membuat semuanya
ini. Sekalipun manusia memiliki kehendak, keinginan, rencana dalam hidupnya,
namun yang terjadi adalah seturut kehendak Tuhan (Amsal 16:9). Tidak ada sesuatupun
yang terjadi, tanpa sepengetahuan Allah.Kebahagiaan, penderitaan, sehat, sakit,
kelahiran, kematian, semua itu merupakan proses yang harus dilalui semua
manusia sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan.
Eksposisi
Ayub 2:9-10
Dalam bagian ini, penulis akan memberikan pemaparan
mengenai kitab Ayub sendiri yang meliputi latar belakang kitab, penulis dan
waktu penulisan, ciri khas kitab ini, tujuan penulisan kitab ini dan latar
belakang teks Ayub 2:9-10 serta eksposisinya.
Latar Belakang Kitab
Kitab Ayub adalah
salah satu kitab nabi dalam Perjanjian Lama yang terdiri dari 42 pasal. Akan
tetapi menurut Blommendaal kitab Ayub yang asli
hanya terdiri dari 2 pasal saja, yaitu pasal 1,2 dan 42:7-17 sedangkan
selebihnya adalah tambahan bahan dalam bentuk puisi dan berisikan pembicaraan
antara Ayub dan teman-temannya (pasal 3-42:6).[2] Kitab Ayub termasuk dalam Sastera Hikmah (Hikmat) sehingga kitab ini tidak
mempunyai hubungan dengan sejarah Israel.Kitab Ayub bukanlah kitab yang berasal
dari Israel melainkan berasal dari Edom. Hal ini dapat dibuktikan dengan
pemakaian bahasa dalam penulisannya menggunakan bahasa Semitis Selatan dan juga
terasa pengaruh bahasa Aram di dalamnya. Diduga kitab ini ditulis sesudah masa
pembuangan. Sedangkan menurut Alkitab Penuntun, tempat terjadinya
peristiwa adalah di tanah Us yang kemudian menjadi wilayah Edom yang terletak
di bagian tenggara laut mati/sebelah utara Arabia. Sehinga latar belakang kitab
Ayub bersifat Arab dan bukan Ibrani.[3]Para sarjana sekular
percaya bahwa bagian pengantar dan penutup dari kitab ini yang merupakan
kerangkanya disusun untuk menempatkan puisi sentralnya ke dalam bentuk prosa
"kitab rakyat" seperti yang diungkapkan oleh para penyusun Jewish
Encyclopedia (Ensiklopedia Yahudi). Di dalam prolog dan epilog, nama
Allah adalah Yahweh, sebuah nama yang bahkan digunakan oleh orang-orang Edom.[4]
Penulis Kitab Dan Waktu Penulisan
Ada banyak pendapat yang mengemukakan tentang pengarang dari kitab Ayub. Dua tradisi Talmud mengatakan
bahwa Ayub hidup di masaAbraham atau Yakub. Lewi ben Lahma mengatakan bahwa Ayub hidup di
masa Musa, yang kemudian menulis Kitab
Ayub itu sendiri. Yang lainnya berpendapat bahwa Ayub sendirilah yang menulis kitab ini, atau Elihu atau Yesaya.
Dari bukti-bukti internal, seperti misalnya kesamaan perasaan dan bahasa dengan
apa yang ditemukan dalam Kitab Mazmur dan Amsal (Mazmur 88
dan 89), maraknya gagasan tentang "hikmat," dan gaya serta sifat
komposisinya, diduga bahwa kitab ini telah ditulis pada masa Raja Daud dan Raja Salomo.[5]
Akan tetapi, ada sumber yang berpendapat lain
tentang tanggal penulisan kitab ini. Dua tanggal penting yang dicatat adalah
:Tanggal kehidupan Ayub sendiri dan peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam
kitab ini, dan tanggal penulis kitab ini yang diilhamkan. Beberapa fakta menunjukkan bahwa
Ayub sendiri hidup sekitar zaman Abraham (2000 SM) atau sebelumnya.[6] Fakta-fakta yang penting
adalah : Ayub masih hidup selama
140 tahun setelah peristiwa-peristiwa dalam kitab ini (42:16) yang menunjukan jangka hidup yang
hampir 200 tahun. Kekayaannya dihitung dari jumlah ternak (1:3 dan 42:12). Pelayannaya sebagai
imam dalam keluarganya seperti Abraham, Ishak dan Yakub (1:5). Sistem keluarga
pimpinan ayah menjadi kesatuan sosial mendasar seperti pada zaman Abraham
(1:4-5, 13). Serbuan orang-orang Syeba (1:15) dan orang-orang Kasdim (1:17) yang cocok
dengan zaman Abraham. Seringkali (31 kali) penulis memakai nama yang dipakai para patriarkh bagi
Tuhan, yaitu Shaddai (Yang Maha Kuasa). Tidak ada petunjuk
sama sekali kepada sejarah Israel atau hukum Musa sehingga memberi kesan tentang
zaman pra-Musa (1500 SM).
Tujuan Penulisan Kitab
Tujuan Kitab Ayub adalah memberikan penjelasan tentang keadilan Tuhan bagi
orang benar. Penderitaan yang dialami oleh Ayub merupakan sesuatu yang sulit
untuk dipahami menurut konteks keagamaan pada waktu itu. Konsep tradisional
mengajarkan bahwa ketaatan akan membawa berkat (1:1-3), sedangkan ketidaktaatan
menghasilkan kutukan. Aliran hikmat menekankan sifat Tuhan yang transendens, yang penuh rahasia dan rasa takut
dan gentar pada diri manusia apabila manusia berhadapan dengan kuasa Tuhan itu.
Dalam kerangka pikir seperti inilah Ayub dan tiga orang sahabatnya bergumul
tentang keadaan Ayub. Bagi Ayub yang tidak merasa bersalah (bdk. 1:5; 10:7;
13:18, 23; 27:5; 31:1-40), penderitaannya tampak sebagai sesuatu yang tidak
adil. Sebaliknya, para sahabat Ayub dengan yakin menuduh Ayub telah berbuat
dosa tertentu (bdk. 4:7-8).[7]Sementara itu yang paling disorot oleh Tremper Longman III & Taymond B. Dillard, dalam bukunya An
Introduction to the Old Testament sebenarnya bukan alasan mengapa Ayub
menderita, tetapi keputusan Allah yang memberkati orang benar.[8]Setan menganggap keputusan tersebut
bersifat kontraproduktif karena kesalehan seseorang menjadi tidak murni.
Seseorang cenderung untuk hidup dengan saleh hanya karena menginginkan berkat
TUHAN (1:9-11; 2:3-5).
Latar Belakang Teks Ayub 2:9-10
Ayub 2:9-10 merupakan dialog antara Ayub dengan istrinya menyikapi
dan menanggapi situasi yang sedang mereka hadapi. Setelah semua harta benda dan
kekayaan Ayub habis, di susul dengan kematian semua anak-anaknya dan ditambah
dengan penyakit parah yang diderita Ayub, istri Ayub mengemukakan pendapatnya,
sebagai bentuk kekecewaan kepada Tuhan. Sementara itu Ayub menentang pendapat
istrinya dengan didasarkan atas imannya dan pemahamannya akan kedaulatan Allah
sehingga dalam semua yang dilakukannya, Ayub tidak berbuat dosa.
Eksposisi Ayub
2: 9-10
Ayub 2:9-10 terbagi dalam dua bagian, yang pertama adalah
pendapat Istri Ayub terhadap kesalehan Ayub yang seakan sia-sia dan bagian
kedua, sanggahan Ayub terhadap perkataan Istrinya.
Tanggapan
Istri Ayub “Kesalehan adalah sia-sia (Ayub 2:9)”
Ayat 9: “Maka berkatalah istrinya kepadanya: masih
bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah”. Perkataan
ini adalah ungkapan kekecewaan, kemarahan, dan keputus asaan istri Ayub dengan
penderitaan yang dialami. Istri Ayub seakan ingin mengatakan bahwa tidak ada
gunanya jika Ayub masih bertahan dalam kesalehannya. Apa yang dikatakan Iblis
dalam pasal 2:5, terjadi pada dirinya.
Dia beranggapan bahwa kesalehan ternyata tidak menjauhkan mereka dari
penderitaan. Bahkan untuk hidup takut akan Allah pun tidak ada gunanya sehingga
dengan tanpa ragu dia menyarankan agar Ayub mengutuki Allahnya. Dengan kata
lain, Istrinya menyarankan supaya Ayub meninggalkan Tuhan, dan mengakhiri
hidupnya, karena tidak ada pengharapan lagi dan tidak ada yang bisa mereka
perbuat.
Ayat 10: “Tetapi jawab Ayub kepadanya: Engkau berbicara seperti perempuan
gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima
yang buruk? Dalam kesemuanya itu, Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya”. Apa
yang dikatakan Alkitab tentang respon Ayub atas perkataan istrinya, menunjukkan
kualitas dan kemurnian iman Ayub dengan didasarkan pengenalan dan pemahamannya
akan kedaulatan Allah yang mutlak dalam hidupnya. Hal ini memungkinkan Ayub
untuk dapat bersabar dan menerima semua yang terjadi dengan tetap memandang
Tuhan dengan segala kedaulatanNya yang adil. Dia menyadari bahwa segala ssuatu
terjadi atas kehendak dan ijin Tuhan semata, dan imannya tidak tergoyahkan oleh
situasi yang dia hadapi.
BAB III
PENUTUP
Dalam bagian inipenulis
akan memaparkan kesimpulan dan juga saran bagi pembaca. Diharapkan dengan
kesimpulan dan saran ini, pembaca dapat mengambil makna dari tulisan ini.
Kesimpulan
Setiap
orang harus melewati setiap proses dalam hidupnya untuk menguji kemurnian
imannya. Dengan pemahaman yang benar akan kedaulatan Allah dalam hidupnya, maka
sesorang yang percaya akan dapat mengerti setiap proses yang akan dia jalani
baik itu baik dan buruk. Orang
percaya sejati harus mempersiapkan diri untuk diuji oleh Allah melalui
kesengsaraan dan juga menerima yang baik dari tangan-Nya. Mempercayai Allah
tidaklah berarti bahwa Dia senantiasa akan membebaskan kita dari kesulitan,
demikian pula kesetiaan kepada Allah tidak menjamin kemakmuran dan keberhasilan. Yang harus dilakukan dan dimiliki oleh
orang percaya adalah, apapun yang dihadapi, harus tetap berpegang pada imannya
kepada Tuhan yang empunya kedaulatan mutlak.
Saran
Dengan
pembahasan diatas, maka penulis menyampaikan saran kepada pembaca supaya:
1.
Setiap orang
percaya harus memiliki ketaatan, persekutuan dengan Allah, dan hidup dengan
penuh kesalehan seperti Ayub
2.
Setiap orang
percaya harus menyadari bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa ada saatnya,
hidup tidak selamanya berada dalam situasi yang menyenangkan. Adakalanya
kesulitan, penderitaan dan persoalan dihadapi sebagai proses untuk semakin
memurnikan iman.
3.
Jangan pernah
mempersalahkan Tuhan akan setiap keadaan yang dihadapi, melainkan tetaplah
berfikir positif akan keadilan dan kedaulatan Tuhan.
[1]http://www.alkitab.or.id/biblika/RuangIstilah4.htm
[2] Dr.
J. Blommendaal, Pengantar Kepada
Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), Hal 150
[3]LAI, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan,
(Jakarta : LAI, 1993, hal 754-755
[5] Ibid,....
[6]LAI, Alkitab Penuntun Hidup
Berkelimpahan.
[7]Prof. Dr. S.
Wismoady Wahono, Di sini
Kutemukan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), hal 232
[8]Tremper Longman III &
Taymond B. Dillard, An
Introduction to the Old Testament (Grand
Rapids : Zondervan, 2006), hal 225.
DAFTAR PUSTAKA
Blommendaal, Dr.
J. PengantarKepadaPerjanjian Lama, Jakarta :BPK GunungMulia, 2009
http://www.alkitab.or.id/biblika/RuangIstilah4.htm
LAI, AlkitabPenuntunHidupBerkelimpahan,
Jakarta : LAI, 1993, hal 754-755
Longman III,Tremper&Taymond
B. Dillard, An Introduction to
the Old Testament. Grand Rapids : Zondervan, 2006
Wahono, Prof. Dr. S. Wismoady.Di siniKutemukan.Jakarta
:BPK GunungMulia, 2009